Wednesday, May 20, 2015

Pengaruh Dari Gejala Involusi Perkotaan

“Permukiman Kumuh pada Masyarakat Miskin    
Pengaruh Dari Gejala Involusi Perkotaan Di Bandar Lampung”
(Studi Kasus di Pesisir Pantai Teluk Kawasan Sukaraja)
 
Satu kenyataan yang tidak bisa dibantah bahwa telah terjadi pemukiman yang kumuh pada masyarakat miskin akibat dari involusi perkotaan. Penulis mecoba menggunakan teori involusi Geertz dalam melihat sebuah kemiskinan didaerah perkotaan. Kemiskinan yang kian membelit menjadi perangkap dalam sebuah perubahan wilayah dari daerah yang luas menjadi daerah yang sempit. Akibatnya kualitas lingkungan menjadi rendah. Dalam konsep involusi perkotaan yang dikemukakan oleh Geertz bahwa suatu keadaan yang semakin semrawut  tak terkendali. Selain itu penataan kota yang tak seimbang dan dibarengi dengan jumlah penduduk yang begitu padat, pemukiman yang berjejal, penyebaran penyakit dimana-mana, dan sebagainya.

Membahas permasalahan kemiskinan tidak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Kemiskinan seakan telah mendarah daging di negara ini dan menjadi sebuah “lingkaran setan” yang terus membelenggu individu-individu dan kelompok-kelompok yang terjerembab masuk didalamnya.
Kita semua menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak kita temui permukiman masyarakat miskin hampir setiap sudut kota. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.

Kemiskinan selalu diidentikkan dengan desa, senyatanya kemiskinan yang melanda di perkotaan pun tak kalah pelik dan mirisnya. Meskipun dekat akan sarana dan fasilitas besar para pemegang kekuasaan negara ini, masyarakat yang kurang beruntungpun harus menempati area yang tak layak huni untuk tempat tinggal. Permasalahan tanah dan perumahan ini acapkali menjadi persoalan yang melilit masyarakat kota. Terlebih mereka yang bekerja disektor informal dengan penghasilan yang hanya cukup bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Alhasil mereka hanya bisa mendirikan gubuk-gubuk kecil yang berkerumun dipinggir-pinggir kota yang dekat untuk mencari nafkah . Hal tersebut menjadi persoalan yang sering dikeluhkan masyarakat yang kurang bahkan tidak beruntung ini yakni mengenai perumahan atau tempat tinggal mereka yang terkait rendahnya kualitas lingkungan tempat tinggal. Sehingga muncul area-area pemukiman yang padat penduduk dan hampir terdapat disetiap sudut kota.

Kondisi seperti itu dianggap sebagai bagian yang merusak keindahan tata kelola permukiman kota dan harus disingkirkan. Banyaknya pemukiman kumuh dan hunian liar dipinggir-pinggir kota menunjukkan bahwa masih adanya titik-titik lokasi kemiskinan didaerah tersebut. Bandar Lampung sebagai daerah ibu kota yang tak luput dari pemandangan pemukiman kumuh (slums area) dan hunian-hunian liar dipinggir kota. Salah satu penyebab munculnya perkampungan kumuh dan hunian liar yakni derasnya arus urbanisasi yang menambah kepadatan penduduk dikota-kota besar. Sebagai contoh, hingga tahun 2010, kepadatan penduduk Bandar Lampung  mencapai 8.142 jiwa/Km2.

Seiring dengan proses industrialisasi yang terjadi di perkoataan, memicu pula munculnya perkampungan kumuh. Keberadaan perkampungan kumuh ini dikaitkan dengan gejala perubahan struktur ekonomi, urbanisasi dan perkembangan kota. McGee (1971) dalam Effendi (1995:165-166) mengemukakan bahwa : “Munculnya masalah sosial dan kantong-kantong pemukiman miskin di kota sebagai akibat “urbanisasi semu” (pseudo urbanization) di mana proses urbanisasi di negara-negara sedang berkembang tidak sejalan dengan perkembangan ekonomi. Keadaan ini cenderung memunculkan “involusi kota” dimana penduduk kota didorong masuk ke sektor informal dan belum tentu dapt memberikan kehidupan yang layak.”

Berdasarkan kondisi yang seperti itu maka tidaklah menutup kemungkinan bahwa keberadaan permukiman kumuh dan hunian liar akan selalu ada di kota-kota. Para pekerja informal terpaksa menempati daerah-daerah yang padat dengan kondisi fisik yang sangat tidak memadai dan minim bahkan jauh dari kategori kualitas lingkungan yang layak huni.

Referensi :
 Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Antropologi Sosialbudaya. Depok : IAI
 Effendi,Tadjuddin Noer.1995.Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan.Cet.II.Tiara Wacana:Yogyakarta.300hlm
 Suryawati, Chriswardani.2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Dalam JMPK Vol.08/No.03/September/2005.

Melek Global Tetapi Tidak Melek Kebangsaan

“Melek Global Tetapi Tidak Melek Kebangsaan”
(Studi Tentang Budaya Lokal, Nasional, dan Global)

Dalam era yang seolah membuat dunia menjadi tanpa sekat dan tak terbatas oleh ruang dan waktu, era globalisasi sangat berkaitan dengan kompetisi dan kapabilitas seseorang untuk bertahan dalam hidup. Setiap individu dituntut untuk bisa menyesuaikan dan beradaptasi dengan lingkungan dan budaya Internasional yang semakin mengglobal.

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Saya melihat kini semakin hilang rasa cinta bangsa ini terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri yang terus membanjiri Indonesia, seperti Mc Donald, KFC, Coca Cola, Pizza Hut, dll. Banyak anak-anak muda maupun kalangan dewasa lebih senang berbelanja di Mall semacam Carrefour dibandingkan berbelanja di pasar-pasar tradisional. Hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan pudarnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Perlu kita sadari bersama, semangat nasionalisme merupakan salah satu modal utama yang harus dimilikibangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman-ancaman ketahanan nasional sebagai dampak negative globalisasi. Tanpa adanya semangat nasionalisme, maka akan timbul perpecahan dan disintegrasi bangsa Indonesia. Tanpa adanya semangat nasionalisme dalam setiap jiwa bangsa Indonesia, maka akan dengan mudah bangsa lain mengobrak-abrik bahkan menjajah kembali Indonesia. Tentu saja ini semua tidak kita inginkan terjadi, walaupun sebenarnya kini sudah mulai muncul tanda-tanda akan hal itu. Solusi bijak untuk keluar dari semua ini adalah kita bangsa Indonesia harus bangkit kembali dengan semangat nasionalisme yang lebih besar lagi, tentu semangat nasionalisme sejati. Semangat nasionalisme yang tulus ikhlas dari dalam hati, bukan karena inginkan sesuatu (timbal balik).

Referensi :
Saifudin, Achmad Fedyani. 2011. Antropologi Sosialbudaya. Depok : IAI

Sosiologi Lingkungan "Sebuah Paradigma Baru"

Judul : Environmental Sociology “A New Paradigm”  (Sosiologi Lingkungan “Sebuah Paradigma Baru”)
Penulis : William R. Catton dan Riley E. Dunlap
Penerbit : Washington State University, American

RINGKASAN :
Akhir 1970-an adalah era pertumbuhan yang dinamis dari lingkungan sosiologi Amerika.  Masalah lingkungan  mewakili apa yang disebut masalah sosiologi lingkungan. (Dunlap dan Catton 1979). Sebagai ilmuan sosial yang lebih memerhatikan masalah lingkungan, beberapa mulai untuk melihat melampaui perhatian masyarakat terhadap masalah lingkungan ke hubungan yang mendasari antara modern, masyarakat industri dan lingkungan fisik yang mereka tempati. Kepedulian dengan penyebab pencemaran lingkungan adalah dilengkapi dengan fokus pada dampak sosial dari polusi dan keterbatasan sumber daya.
 
Berbeda dengan Human Exemptionalist Paradigm  (HEP) , Catton dan memajukan Dunlap "New Environmantal Paradigm (NEP) " yang mereka melihat sebagai lensa mental yang bersaing dan dasar untuk pembenahan teori sosial. Asumsi utama dari NEP adalah sebagai berikut :
1. Meskipun manusia memiliki karakteristik yang luar biasa (budaya, teknologi, dll), mereka hanya satu di antara banyak spesies yang saling bergantung yang terlibat dalam ekosistem global.
2. Urusan manusia dipengaruhi tidak hanya oleh faktor sosial dan budaya, tetapi juga oleh hubungan yang rumit sebab, efek, dan umpan balik dalam wadah alam, dengan demikian tujuan tindakan manusia memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan banyak.
3. Manusia hidup dan tergantung pada lingkungan biofisik terbatas yang memberlakukan pengekangan fisik dan biologis kuat terhadap urusan manusia.
4. Namun banyak cipta manusia atau kekuatan berasal daripadanya mungkin tampak untuk sementara melampaui daya-dukung, hukum ekologi tidak dapat dicabut.
New  Environmantal Paradigm (NEP) alternatif ekologis dari Human Exemptionalist Paradigm.


KOMENTAR :
Dimana praktek sosiologi untuk masa yang akan datang  harus melihat hubungan antara manusia/masyarakat dan lingkungan biofisik, di jurnal ini dibahas anjuran untuk suatu paradigma baru bagi hubungan antara manusia/masyarakat dengan lingkungannya sehingga disiplin ilmu ini tidak lagi mengabaikan hubungan masyarakat dengan lingkungan biofisiknya.
Untuk keberlagsungan  kehidupan manusia/masyarakat dimasa yang akan datang, yaitu Human Expetionalism Paradigm (HEP) yaitu paradigma yang beraliran antroposentism (manusia sebagai pusat atau penentu alam) ke paradigma baru yang lebih mengacu pada lingkungan yaitu New Environmental Paradigm (NEP) tentang hubungan antara manusia dengan lingkungan ekologisnya, dengan demikian diharapkan adanya kestabilan di fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia.

Protokol Kyoto (Kyoto Protocol)

Protokol Kyoto (Kyoto Protocol) adalah sebuah perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri dunia, yang harus dicapai pada tahun 2012. Idealnya, hasil dari Protokol Kyoto adalah terjadinya pengurangan emisi gas di bawah level yang terukur pada tahun 1990. Perjanjian tersebut juga mencakup negara berkembang, dimana industrialisasi sedang berkembang pesat dan karena itu menghasilkan sejumlah besar gas rumah kaca.

Asal mula Protokol Kyoto dapat dilacak pada Konferensi Iklim Dunia pertama yang diselenggarakan pada tahun 1979. Konferensi ini diadakan untuk mengatasi masalah yang dipicu aktivitas manusia terhadap perubahan iklim. Sebagai hasil, peserta konferensi sepakat memberikan komitmen lebih banyak untuk melakukan penelitian dan aksi untuk mengatasi masalah ini.

Tonggak penting berikutnya adalah diadakannya United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 1992. UNFCCC merupakan respon terhadap lebih dari 10 tahun diskusi dan penelitian tentang perubahan iklim. Menurut ketentuan UNFCCC, negara-negara peserta sepakat untuk mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca.

Negara anggota konvensi juga diminta mengurangi emisi yang harus dicapai pada tahun 2000, serta berpartisipasi dalam rencana aksi global untuk mencegah peningkatan emisi gas rumah kaca. Perjanjian ini tidak mengikat secara hukum, tetapi banyak negara melihat bahwa kesepakatan tersebut merupakan langkah penting sehingga berkomitmen untuk menjalankannya. Namun pada tahun 1995, kekhawatiran mulai bermunculan bahwa kesepakatan yang sudah dicapai mungkin tidak akan berjalan.

Sebagai respon, pada tahun 1997, sebuah konferensi untuk membahas masalah ini diadakan di Kyoto, Jepang. Hasil konferensi lantas disebut sebagai Protokol Kyoto, yang selanjutnya mengikat secara hukum bagi negara peserta untuk mengurangi emisi karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC). Menurut ketentuan perjanjian, negara peserta harus mengurangi emisi mereka antara tahun 2008 dan 2012 melalui berbagai cara.

Protokol Kyoto mendorong pembangunan berwawasan lingkungan dan perdagangan emisi, sehingga memungkinkan negara-negara yang memenuhi kuota untuk menjual kredit ke negara-negara yang menghadapi kesulitan. Sementara sebagian besar pihak setuju bahwa perubahan iklim adalah masalah serius, Protokol Kyoto tetap menjumpai tantangan serius dari sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.
Pada tahun 2007, Senat Amerika Serikat menolak meratifikasi Protokol Kyoto, terutama dalam klausul mengenai tingkat emisi yang diperbolehkan untuk negara-negara berkembang seperti China. Penentang Protokol Kyoto mengemukakan berbagai alasan seperti kekhawatiran akan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan bahwa ketentuan dalam protokol dianggap terlalu mengikat.

Analisis Fenomena Maraknya Pengemis Dari Luar Daerah

ANALISIS DENGAN TEORI EVERETT S. LEE :

Dampak positif dan negatif tampaknya semakin sulit dihindari dalam pembangunan, sehingga selalu diperlukan usaha untuk lebih mengembangkan dampak positif pembangunan serta mengurangi dan mengantisipasi dampak negatifnya. Pengemis  merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa-kota yang antara lain memunculkan pengemis karena sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan dan pedesaan.

Masalah umum pengemis pada hakikatnya erat terkait dengan masalah ketertiban dan keamanan yang menganggu ketertiban dan keaman di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya pengemis maka diduga akan memberi peluang munculnya gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan menganggu stabilitas sehingga pembangunan akan terganggu, serta cita-cita nasional tidak dapat diwujudkan. Jelaslah diperlukan usaha-usaha penanggulangan pengemis tersebut.

Tampaknya pengemis tetap menjadi masalah dari tahun ke tahun, baik bagi wilayah penerima (perkotaan) maupun bagi wilayah pengirim (pedesaan) walaupun telah diusahakan
penganggulangannya secara terpadu di wilayah penerima dan pengirim. Setiap saat pasti ada
sejumlah pengemis yang kena razia dan dikembalikan ke daerah asal setelah melalui pembinaan.

Menurut Everet S. Lee, migrasi dalam arti luas adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Disini tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perbedaan itu bersifat sukarela atau terpaksa. Jadi migrasi adalah gerakan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan ada niatan menetap di daerah tujuan. Tanpa mempersoalkan jauh dekatnya perpindahan, mudah atau sulit, setiap migrasi mempunyai tempat asal, tempat tujuan dan bermacam-macam rintangan yang menghambat. Faktor jarak merupakan faktor yang selalu ada dari beberapa faktor penghalang .

Baiklah, saya akan menjelaskan faktor penyebab maraknya pengemis dari luar daerah Bandar Lampung dilihat dari perspektif Everett S. Lee.
 
Faktor-faktor penyebab pengemis bermigrasi, yaitu :
  • Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal.
Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal yang disebut dengan faktor pendorong. Seperti adanya bencana alam, panen yang gagal, lapangan kerja terbatas, keamanan terganggu, kurangnya sarana pendidikan.
  • Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan.
Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan yang disebut faktor penarik. Seperti tersedianya lapangan kerja, upah tinggi, tersedia sarana pendidikan, kesehatan dan hiburan.
  • Faktor penghalang antara daerah asal dan daerah tujuan.
Faktor yang terletak di antara daerah asal dan daerah tujuan yang disebut penghalang. Yang termasuk faktor ini misalnya jarak, jenis alat transport dan biaya transport. Jarak yang tidak jauh dan mudahnya transportasi mendorong mobilitas penduduk
  • Faktor-faktor pribadi (individu).
Faktor yang terdapat pada diri seseorang disebut faktor individu. Faktor ini sangat mempengaruhi keinginan seseorang untuk melakukan perpindahan atau tidak. Contoh faktor individu ini antara lain umur, jenis kelamin,status menikah dan tingkat pendidikan.

Dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap di suatu tempat atau menarik orang untuk pindah ketempat itu. Beberapa faktor mempunyai pengaruh yang sama terhadap beberapa orang, sedangkan ada faktor yang mempunyai pengaruh berbeda terhadap seseorang. Perbedaan sikap antara setiap migran dan calon migran terdapat faktor positif dan faktor negatif, yang terdapat baik ditempat asal maupun tujuan. Faktor positif (+) daerah asal berarti mempunyai daya dorong terhadap seseorang untuk pergi meninggalkan daerah tersebut, sebaliknya faktor positif di daerah tujuan berarti mempunyai daya tarik terhadap seseorang untuk datang ke daerah tersebut. Sedangkan faktor negatif (-) di daerah asal akan berfungsi sebagai penghambat seseorang untuk pindah ke daerah lain. Begitupula faktor negatif (-) di daerah tujuan adalah fajtor yang tidak disenangi oleh seseorang, demgam demikian juga akan menghambat masuknya seseorang ke daerah tersebut. Faktor netral (0) pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap seseorang untuk bermigrasi.

Penilaian seseorang terhadap suatu faktor tertentu dapat positif (+), negatif (-), atau netral (0). Hal ini bergantung kepada keadaan pribadi orang tersebut yang dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kebutuhan dan sifat-sifat pribadi. Begitu pula persepsi seseorang terhadap faktor penghalang berbeda-beda dengan orang lain. Beberapa jenis penghalang adalah jarak, penghalang alami, biaya perjalanan, peraturan atau undang-undang imigrasi, dan besarnya anggota keluarga.

Beberapa Permasalahan dan Solusi Perekonomian Indonesia

Selama tiga tahun dari 2005, 2006, dan 2007 perekonomian Indonesia tumbuh cukup signifikan (rata-rata di atas 6%), menjadikan Indonesia saat ini secara ekonomi cukup dipertimbangkan oleh perekonomian dunia. Hal ini dapat dilihat dengan diundangnya Indonesia ke pertemuan kelompok 8-plus (G8plus) di Kyoto Jepang pada bulan Juli 2008 bersama beberapa negara yang disebut BRIICS (Brasil, Rusia, India, Indonesia dan South Africa). Pada tahun 2008 pendapatan per kapita Indonesia sudah meliwati US$ 2.000, bahkan pada tahun 2009, GDP Indonesia ditetapkan di atas angka 5.000 triliun Rupiah atau setara dengan US$ 555 milyar. Angka-angka ini cukup mendukung estimasi bahwa pada tahun 2015 Indonesia sudah menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia dengan GDP di atas US$ 1 triliun. Namun masih banyak hambatan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia untuk menuju kesana, misalnya; kondisi infrastruktur perekonomian (seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan listrik), tingginya angka pengangguran (kisaran 9%), tingginya inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya harga energi dunia (sudah menyentuh 11,,%), belum optimalnya kedatangan FDI ke Indonesia, belum optimalnya peranan APBN sebagai stimulus ekonomi (belum ekspansif).

Beberapa permasalahan ekonomi
Beberapa permasalahan ekonomi Indonesia yang masih muncul saat ini dijadikan fokus program ekonomi 2008-2009 yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 tahun 2008 yang memuat berbagai kebijakan ekonomi yang menjadi target pemerintah yang dapat dikelompokkan ke dalam 8 bidang yaitu: (i) investasi, (ii) ekonomi makro dan keuangan, (iii) ketahanan energi, (iv) sumber daya alam, lingkungan dan pertanian, (v) pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), (vi) pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN, (vii) infrastruktur, dan (viii) ketenagakerjaan dan ketransmigrasian. Analisis singkat atas kondisi ke-delapan bidang yang menjadi paket kebijakan ekonomi tahun 2008-2009 adalah sebagaimana berikut ini:

1. Iklim investasi.

Realisasi investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin Usaha Tetap PMDN pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak 159 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar Rp. 34.878,7 miliar (34,88 triliun Rupiah). Sedangkan realisasi Investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin Usaha Tetap PMA (FDI) pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak 983 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar US$. 10.349,6 juta (US$ 10,34 milyar). Dibandingkan dengan FDI global yang selama 2007 mencapai rekor sebesar US$ 1.500 milyar dan FDI yang masuk ke Amerika Serikat sebesar US$ 193 miliar, nilai FDI yang masuk ke Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,66% terhadap FDI dunia dan 5,18% terhadap FDI ke Amerika Serikat. Walau demikian, masuknya FDI ke Indonesia pada tahun 2007 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa puncak pra krisis yaitu tahun 1996-1997 yang hanya mencapai US$ 2,98 miliar (1996) dan US$ 4,67 miliar (1997). Menurut hemat penulis realisasi FDI ke Indonesia akan dapat lebih meningkat kalau dua faktor kunci untuk masuknya FDI dibenahi yaitu kondisi infrastruktur, dan masalah birokrasi yang bertele-tele.

2. Kebijakan ekonomi makro dan keuangan

Dari sisi fiskal, pemerintah menerapkan APBN yang cukup baik yaitu dengan sedikit ekspansif walau masih sangat berhati-hati. Hal ini terlihat dari defisit RAPBN tahun 2009 sebesar Rp 99,6 triliun atau 1,9 persen dari PDB (Kompas 15 Agustus 2008), walau defisit APBN masih dapat ditolerir sampai angka 3% (berdasarkan golden rule) . Pada tahun 2009 anggaran yang digunakan untuk belanja modal tercatat sebesar Rp 90,7 triliun lebih besar dari belanja barang sebesar Rp 76,4 triliun (Kompas 15 Agustus 2008). Total belanja pemerintah pada tahun 2009 meningkat menjadi sebesar Rp1.022,6 triliun yang diharapkan lebih berperan dalam menstimulus ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan di atas 6,5%. Pemerintah juga pada tahun 2009 berencana untuk memberikan empat macam insentif fiskal yaitu (i) Pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan dalam jumlah dan waktu tertentu kepada investor yang merupakan industri pionir. (ii) Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), khususnya untuk bidang usaha tertentu pada wilayah atau kawasan tertentu. (iii) Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin serta peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. (iv) Pemerintah mengubah perlakuan PPN atas sebagian barang kena pajak yang bersifat strategis dari yang semula ”dibebaskan” menjadi tidak dipungut atau ditanggung pemerintah. Dari sisi moneter, Bank Indonesia dengan instrument BI-rate cukup berhasil untuk mengendalikan inflasi, khususnya core inflation sejak BI rate diterapkan pada tahun 2005. Namun inflasi yang disebabkan oleh adanya kenaikan harga energi dan terganggunya masalah distribusi terutama akibat naiknya harga gas, premium, solar, dan makanan (volatile food) membuat tahun 2008 ini tingkat inflasi cukup tinggi yaitu untuk Januari-Agustus 2008 tercatat 9,4 persen, dan inflasi Agustus 2007-Agustus 2008 mencapai 11,85 persen. Menghadap hal ini BI melakukan antisipasi dengan menaikan BI rate pada bulan-bulan terakhir sampai September 2008, dan saat ini BI rate sudah mencapai 9,25%. Tingginya BI rate ini memang diharapkan dapat menekan angka inflasi namun disisi lain akan berpengaruh terhadap sektor riil karena kenaikan BI rate berakibat terhadap peningkatan tingkat bunga pinjaman di bank-bank komersial.

3. Ketahanan energi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa harga energi dunia terus berfluktuasi dan sangat sulit untuk diprediksi. Pada tahun 2008 harga minyak dunia bahkan sudah mencapai rekor tertinggi sebesar US$ 147 per barel pada 11 Juni lalu. Walau saat ini menurun pada kisaran US$ 106, bahkan hari ini tanggal 10 September 2008 harga minyak telah turun dibawah US$ 100 (detik.com). Hal ini sangat berbahaya bagi ketahanan energi nasional karena kita tahu bahwa ,sebagai input, naiknya harga energi akan berdampak terhadap kenaikan biaya produksi dan harga jual. Disamping kenaikan biaya produksi dan harga jual akan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional apalagi pada saat ini sedang terjadi penurunnya daya beli masyarakat internasional akibat inflasi yang meningkat hampir disemua negara tujuan utama ekspor Indonesia yaitu Amerika Serikat, Negara Eropa (EU), dan Asia Timur (Jepang, Korea Selatan dan China). Dalam rangka ketahanan energi ini, pemerintah melakukan diversifikasi energi dengan misalnya memproduksi bio-fuel yang merupakan pencampuran produk fosil dengan nabati (minyak kelapa sawit). Namun muncul kendala program ini karena saat ini harga komoditi yang menggunakan bahan baku kelapa sawit mengalami kenaikan yang luar biasa yaitu Crude Palm Oil (CPO). Akibatnya, produsen kelapa sawit menjadi gamang dalam menggunakan kelapa sawit apakah untuk digunakan sebagai bio energy atau untuk menghasilkan CPO yang ditujukan untuk ekspor. Beberapa pengamat mengatakan sebaiknya Indonesia lebih mengembangkan energy geothermal (panas bumi) yang cadangannya sangat berlimpah di Indonesia (terbesar di dunia) karena biaya investasi yang mahal untuk investasi energi pada geothermal ini akan di offset oleh turunnya subsidi pemerintah untuk bahan bakar minyak karena adanya peralihan penggunaan energi dari minyak ke geothermal.

4. Kebijakan sumber daya alam, lingkungan dan pertanian

Indonesia beruntung memiliki sumber daya alam yang melimpah baik bahan tambang, hutan, pertanian, hasil laut, dan cahaya matahari yang sepanjang tahun. Untuk itu, sumber daya alam yang ada harus dikelola dengan baik bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat (welfare). Sejauh ini Indonesia telah memanfaatkan banyak bahan tambang bagi pertumbuhan ekonomi seperti minyak bumi, batubara, gas, bijih besi, emas, nikel, timah dan lain sebagainya. Namun pemanfaatan sumber daya alam ini membawa dampak negatif (negative externalities) terhadap lingkungan berupa penggundulan hutan penghancuran bukit-bukit yang tentunya berdampak sangat negatif terhadap kondisi lingkungan. Disisi pertanian, walau banyak kemajuan yang dicatat Indonesia masih mengimpor beras, dan produk pertanian lain seperti kedele, dan hasil perkebunan (gula). Ditargetkan pada tahun 2009, Indonesia sudah dapat berswasembada beras dan gula.

5. Pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini merupakan sektor ekonomi yang cukup tangguh terutama pada saat krisis ekonomi 1998 dimana banyak pelaku ekonomi besar bertumbangan. Beberapa program yang akan diterapkan oleh pemerintah menyangkut pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini adalah peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan dengan (i) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan akses UMKM pada sumber pembiayaan. (ii) Memperkuat sistem penjaminan kredit bagi UMKM. (iii) Mengoptimalkan pe-manfaatan dana non perbankan untuk pemberdayaan UMKM. Disamping itu akan dilakukan juga pengembangan kewirausahaan dan sumber daya manusia (SDM) dengan (i) Meningkatkan mobilitas dan kualitas SDM. (ii) Mendorong tumbuhnya kewira-usahaan yang berbasis teknologi. Hal lainnya adalah peningkatan peluang pasar produk UMKM dengan (i) Mendorong berkembangnya institusi promosi dan kreasi produk UMKM. (ii) Mendorong berkembangnya pasar tradisional dan tata hubungan dagang antar pelaku pasar yang berbasis kemitraan. (iii) Mengembangkan sistem informasi angkutan kapal untuk UMKM. (iv) Mengembangkan sinergitas pasar. Terakhir adalah reformasi regulasi dengan (i) Menyediakan insentif perpajakan untuk UMKM. (ii) Menyusun kebijakan di bidang UMKM.

6. Pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN.

Sebagai anggota penting ASEAN Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh organisasi yaitu pelaksanaan komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community - AEC). Beberapa langkah ke depan adalah (i) Komitmen AEC untuk Arus Barang Secara Bebas (ii) Komitmen AEC untuk Arus Jasa Secara Bebas (iii) Komitmen AEC untuk Arus Penanaman modal Secara Bebas (iv) Komitmen AEC untuk Arus Modal Secara Bebas (v) Komitmen AEC untuk Arus Tenaga Kerja Terampil Secara Bebas (vi) Komitmen AEC untuk Perdagangan Makanan, Pertanian, dan Kehutanan (vii) Komitmen AEC untuk Menuju Kawasan Ekonomi Yang Kompetitif (viii) Sosialisasi Pelaksanaan Komitmen Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015

7. Infrastruktur

Sebagaimana disinggung di depan, kondisi infrastruktur ekonomi Indonesia berada pada titik yang nadir. Kalau pada masa orde baru, kondisi infrastruktur Indonesia mengalami titik puncak, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi infrastruktur yang ada sudah tidak lagi memadai. Belum lagi kondisi infrastruktur yang kualitasnya menurun seiring berjalannya waktu. Banyaknya jalan dan jembatan yang rusak ini tidak terlepas dari masa-masa sulit APBN kita yang sampai tahun 2004 lebih dikonsentrasikan kepada pembayaran hutang dan belanja barang dan gaji pegawai. Di tahun 2009, perlu ditingkatkannya belanja pemerintah untuk keperluan infrastruktur ini disamping menerapkan KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, perlistrikan, telekomunikasi dan lain-lain.

8. Ketenagakerjaan dan ketransmigrasian.

Masalah pengangguran di Indonesia masih menjadi masalah ekonomi utama yang sampai saat ini belum bisa diatasi. Sampai tahun 2008, tingkat pengangguran terbuka masih berada pada kisaran 9% dari jumlah angkatan kerja atau berada pada kisaran 9 juta orang. Sebagaimana kita ketahui, bahwa terjadi perubahan patern perekonomian paska krisis dari usaha yang padat karya ke usaha yang lebih padat modal. Akibatnya pertumbuhan tenaga kerja yang ada sejak tahun 1998 s/d 2004 terakumulasi dalam meningkatnya angka pengangguran. Dilain sisi, pertumbuhan tingkat tenaga kerja ini tidak diikuti dengan pertumbuhan usaha (investasi) yang dapat menyerap keberadaannya. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia yang pada puncaknya di tahun 2004 mencapai tingkat 10% atau sekitar 11 juta orang. Untuk menangani masalah pengangguran ini pemerintah perlu memberikan fasilitas baik fiskal, perkreditan, maupun partnership untuk menciptakan usaha yang bersifat padat karya dalam rangka menyerap kelebihan tenaga kerja yangada.

Menyangkut masalah ketransmigrasian ada yang berubah pada penanganannya dibandingkan dengan masa orde baru. Kala itu program transmigrasi berjalan dengan sangat gencar dengan hasil yang bervariasi. Di satu daerah program transmigrasi berjalan baik tapi di daerah lain mengalami kegagalan, namun secara keseluruhan program transmigrasi berjalan lumayan. Paska krisis, program transmigrasi kelihatannya mati suri atau sudah hampir tidak lagi terdengar gaungnya. Apalagi sejak berlakunya otonomi daerah dimana kewenangan mengatur daerah diserahkan kepada pemerintah daerah, termasuk mengatur datangnya penduduk dari luar daerah. Saat ini tentunya perlu ada koordinasi antara pusat dengan daerah menyangkut masalah transmigrasi ini.

Konsep Ideal Manajemen Pembangunan Ekonomi Di Indonesia

Pembangunan adalah proses menuju perubahan, perkembangan dari suatu kesulitan menuju kearah kemudahan. Pembangunan juga merupakan pembebasan dari kesengsaraan. Maka pembangunan merupakan konsep permberdayaan manusia untuk mencapai tujuan aman, tentram, sejahtera dan sentosa bagi umat manusia.

Teori pembangunan belakangan ini tidaklah ditujukan semata-mata pada penjelasan mengapa tidak terjadi pertumbuhan yang pesat di kalangan bangsa-bangsa berkembang. Teori itu juga menyelidiki faktor-faktor dasar yang merangsang pembangunan dan proses-proses antar-sektor serta antar-masa yang menjadi penyebab terjadinya pengumpulan serta pertumbuhan modal.
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.

Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic growth); pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi.

Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.




Menurut McLeod, 1995 ( seorang pakar management ) : Seseorang harus mengelola lima jenis sumber daya utama yaitu :
  1. Manusia
  2. Material
  3. Mesin (fasilitas dan energi)
  4. Uang (capital)
  5. Informasi ( data )

Pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk meningkat dalam jangka panjang. Di sini terdapat tiga elemen penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.

1.     Kondisi Pembangunan Ekonomi di Indonesia saat ini
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada beberapa tahun menunjukan peningkatan dan pada tahun-tahun lainnya mengalami penurunan.

Secara umum perekonomian Indonesia pada periode sebelum krisis ekonomi (1986-1996) mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, yaitu antara 6,47 sampai 9,12 persen per tahun dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut sebesar 7,76 persen. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1991, yaitu sebesar 9,11 persen menjadi pertumbuhan tertinggi yang pernah dimiliki Indonesia.

Pada saat krisis ekonomi melanda negeri ini (1997-1999), perekonomian Indonesia memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah yaitu sekitar -2,68 persen. Pertumbuhan ekonomi paling rendah terjadi pada tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu adalah -13,24 persen dan menjadi pertumbuhan terendah yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini sebenarnya sudah mulai terjadi pada tahun 1997, pertumbuhan ekonomi saat itu sebesar 4,59 persen, turun sebesar 3,19 persen dari tahun sebelumnya. Kemudian pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia turun lebih besar lagi akibat adanya krisis ekonomi, yaitu turun sampai 8,65 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 1999 perekonomian Indonesia mulai membaik, hal ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang berhasil naik 12,63 persen dari pertumbuhan tahun 1998.
Pada periode pemulihan setelah krisis ekonomi (2000-2007) pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali naik, yaitu sebesar 3,83 sampai 6,35 persen dengan rata-rata pertumbuhan pada periode tersebut sekitar 5,04 persen. Pada tahun 2008 perekonomian dunia diguncangkan dengan adanya krisis global, namun adanya krisis global ini ternyata tidak terlalu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mengalami penurunan yang cukup berarti seperti saat periode krisis ekonomi, pada tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 6,01 persen, turun 0,33 persen dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2007.  

Dampak adanya krisis global ini justru baru dirasakan pada tahun 2009. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 ternyata mengalami penurunan yang lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 4,58 persen, jika dibandingkan tahun 2008 pertumbuhan ekonomi tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 1,44 persen. Pada tahun 2010 kondisi perekonomian Indonesia kembali menunjukkan kondisi yang cukup baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 tumbuh 6,1 persen, meningkat dibandingkan tahun 2009 dan mampu lebih tinggi dari tahun 2008. 
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal I-2013 hanya 6,02 persen, turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 6,3 persen.Kepala BPS Suryamin mengatakan produk domestik bruto (atas dasar harga berlaku) hingga kuartal I-2013 naik dari Rp 1.975,5 triliun menjadi Rp 2.146,4 triliun.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I-2013 hanya 6,02 persen, naik 1,41 persen dibanding kuartal IV-2012, kata Suryamin saat konferensi pers di kantornya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di periode tersebut yang tertinggi (secara per kuartal) adalah sektor pertanian peternakan, kehutanan dan perikanan (23,06 persen), keuangan, real estate dan jasa perusahaan 2,96 persen serta pengangkutan dan komunikasi 1,57 persen.
Sementara bila dilihat secara tahunan, kontribusi pertumbuhan domestik bruto tersebut adalah sektor pengangkutan dan komunikasi 9,98 persen, keuangan, real estate dan jasa perusahaan 8,35 persen serta konstruksi 7,19 persen. "Seluruh sub sektor semuanya tumbuh kecuali sektor pertambangan dan penggalian," tambahnya.
Sektor pertambangan dan penggalian masih mengalami kenaikan 0,02 persen secara kuartalan. Namun secara tahunan  mengalami penurunan 0,43 persen, sehingga kontribusi ke total PDB Indonesia mengalami penurunan 0,03 persen.
Sektor pertambangan dan penggalian mengalami penurunan karena produksi minyak dan gas (migas) Indonesia mengalami penurunan dari target di APBN 2013 sebesar 900.000 barel per hari menjadi hanya 830.000 barel per hari.Selain itu juga disebabkan karena turunnya minyak mentah dan penyusutan cadangan minyak menjadi 3,59 miliar barel, tambahnya.
Sebelumnya, Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama 2013 berada pada kisaran 6,2 persen hingga 6,3 persen.
2.      Seharusnya pembangunan ekonomi di Indonesia
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tiga dekade terakhir diakui telah banyak memberikan kemajuan materiil, tetapi mengandung dua masalah serius. Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat rentan terhadap kondisi eksternal dan volatilitas pasar finansial dan komoditas. Kedua, kemajuan ekonomi yang telah dicapai ternyata sangat tidak merata, baik antardaerah maupun antar kelompok sosial ekonomi. Kemajuan materiil yang telah dicapai melalui strategi pertumbuhan selama 30 tahun terakhir ini tidak banyak memberikan sumbangan yang sesungguhnya terhadap “pembangunan”.
Hal ini selanjutnya membawa kita pada dilema pokok dalam gagasan pembangunan, yaitu adanya perdebatan di antara para pakar tentang strategi yang seharusnya didahulukan, antara pertumbuhan dan pembangunan. Kelompok pertama menyatakan, bahwa pertumbuhan ekonomi harus didahulukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam pembangunan. Kelompok lainnya berpendapat, bahwa bertolak dari tujuan yang sebenarnya ingin dicapai, maka aktivitas yang berkaitan langsung dengan masalah pembangunan itulah yang seharusnya didahulukan, sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Perdebatan ini menarik untuk diikuti karena masing-masing kelompok berpendapat dengan argumen yang kuat.
Selama aspek kelembagaan belum diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan kemiskinan, dan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan penting dalam meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Inovasi dalam kebijakan publik semacam ini akan senantiasa memberikan perhatian terhadap tiga hal penting, yaitu etika,  hukum, dan ilmu ekonomi.
Etika menekankan pada persepsi kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil, untuk masa kini maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif untuk melaksanakan ethical consensus yang telah disepakati. Sementara itu, ilmu ekonomi menekankan pada perhitungan untung rugi yang didasarkan pada etika dan landasan hukum suatu negara.        
Banyak ekonom Indonesia yang berkiblat pada teori ekonomi neoklasik tanpa mempertimbangkan sesuai tidaknya teori tersebut untuk dikembangkan dan diterapkan pada kebijakan ekonomi Indonesia. Proponen paham ini mengambil konsep-konsep ekonomi neoklasik secara murni, yaitu dengan mengedepankan metode deduktif dan menganggap ilmu ekonomi sebagai ilmu positif yang dapat diterapkan secara umum di mana saja, tanpa mempertimbangkan perbedaan nilai-nilai kultural dan sosial suatu bangsa (value free).
Berkaitan dengan hal ini, penulis buku melihat pentingnya Ekonomi Pancasila sebagai fondasi moral kebijakan pembangunan Indonesia. Yang ironis, Pancasila sebagai prinsip etika ditolak oleh ekonom neoklasik serta dianggap tidak relevan dan tidak konsisten dengan ilmu ekonomi barat yang “value-free”. Seolah-olah Ekonomi Pancasila tidak dapat memberikan sumbangan pada perkembangan ekonomi modern. Akibatnya, konsep ilmu ekonomi impor yang cenderung menekankan pada liberalisme, individualisme, dan memandang uang sebagai segala-galanya, lebih dikenal luas dan dianggap cocok untuk diterapkan pada perekonomian Indonesia.
Mengubah pandangan para ekonom yang sudah terlanjur fanatik terhadap konsep-konsep tersebut tidaklah mudah. Salah satu yang dapat dilakukan pada saat ini adalah mengubah isi dan metoda pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia. Pengajaran ilmu ekonomi hendaknya tidak terlalu mengarah kepada ilmu ekonomi Barat (American economics textbooks). Teori-teori yang diajukan harus disesuaikan dengan situasi di Indonesia melalui empirical inductive methodology.  
                         
Bertolak dari pengalaman kegagalan perekonomian Indonesia melaksanakan dua sistem ekonomi terdahulu (yaitu Sistem Ekonomi Terpusat pada periode 1959-1960 dan Sistem Kapitalis Liberal dengan teori Neoklasik yang tidak terkendalikan pada periode 1966-1997), maka Ekonomi Pancasila menawarkan arahan baru bagi perekonomian Indonesia.
Pancasila mengandung tekad bangsa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kemanusiaan sebagai dasar-dasar etika (ethical foundation) serta nasionalisme dan demokrasi sebagai pedoman/metode kerja idealnya (guiding ideals). Aspek-aspek penting yang terdapat dalam Ekonomi Pancasila antara lain adalah partisipasi dan demokrasi ekonomi, pembangunan daerah (bukan pembangunan di daerah), nasionalisme ekonomi, dan pendekatan multidisipliner terhadap pembangunan.
Partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan cita-cita demokrasi ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 sementara demokrasi ekonomi itu sendiri berarti bahwa produksi dilakukan oleh semua untuk mencapai keuntungan semua di bawah kepemimpinan dan pengawasan semua anggota masyarakat. 
Pembangunan ekonomi Indonesia yang direncanakan, diatur, dan dikendalikan  secara terpusat merupakan serangkaian kegiatan “pembangunan di daerah”, bukan “pembangunan daerah”. Dalam hal ini daerah hanya mendapat alokasi dana untuk menjalankan program nasional yang ada di daerah tersebut. Proses seperti itu seringkali tidak didasarkan pada aspirasi penduduk daerah setempat.
Nasionalisme ekonomi di Indonesia sempat muncul sekitar tahun 1960-an. Saat itu Indonesia bertekad untuk memajukan perekonomiannya dengan modal dan kekuatannya sendiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan keluarnya Indonesia dari PBB dan organisasi keuangan internasional (IMF dan Bank Dunia). Namun hal ini tidak bertahan lama. Tahun 1980-an hingga kini perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh paham kebijakan liberal dan global. Pengambil kebijakan masih memandang urgensi modal dana dari luar negeri untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi serta menjalankan pembangunan bagi masyarakat banyak. Kebijakan liberalisasi berlebihan ini telah memicu isu nasionalisme ekonomi, seperti misalnya aksi penolakan privatisasi BUMN dan penjualan aset nasional kepada pihak asing.
Pembangunan ekonomi Indonesia selama ini masih banyak berpedoman pada konsep-konsep ekonomi barat yang belum tentu sesuai dengan kondisi kultural, etika, sosial, dan politik yang ada di Indonesia. Ajaran teori-teori ekonomi neoklasik seolah-olah telah diangap sebagai agama (Nelson, 2001). IMF sebagai proponen ideologi tersebut telah memaksakan resep kebijakan berideologi neoklasik ke dalam dokumen Letter of Intent (LoI) Indonesia. Setelah lima tahun pelaksanaan LoI, ekonomi Indonesia belum menunjukkan titik cerah. Setidaknya observasi ini memberikan petunjuk bahwa konsep berpaham neoklasik tidak selamanya ampuh.
Pakar ekonomi pembangunan, misalnya Todaro (2001), juga mengulas pentingnya aspek budaya lokal dalam  proses pembangunan. Gagasan Profesor Mubyarto mengenai Ekonomi Pancasila dalam buku ini menawarkan revitalisasi moral ekonomi Indonesia. Jelas ini bukan dimaksudkan sebagai alternatif “agama” baru. Namun, gagasan Ekonomi Pancasila tersebut saat ini masih berada dalam tataran etika, moral, ide, dan ideologi. Untuk itu perlu dilakukan usaha-usaha lebih lanjut yang memungkinkan Ekonomi Pancasila menjadi  practicable dan menjadi landasan moral pengambilan kebijakan. Pembangunan tidak hanya berfokus pada terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga pada terwujudnya kualitas hidup yang lebih baik, pemerataan, dan keadilan sosial. Pembangunan harus menempatkan kepentingan rakyat banyak pada urutan pertama.

3.      Solusi Pembangunan Ekonomi
Dalam usaha untuk menanggulangi kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara berkembang, maka perlu diketahui bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijaksanaan ekonomi apa saja yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah negara-negara berkembang untuk menanggulangi kemiskinan dan ketidakmerataan, sambil tetap mempertahankan atau meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Apabila perhatian lebih ditujukan pada kewajaran distribusi pendapatan pada umumnya, dan upaya untuk meningkatkan tingkat pendapatan golongan ekonomi bawah 40 % penduduk pada khususnya, maka perlu dipahami berbagai faktor yang mempengaruhi distribusi pendapatan di dalam perekonomian, dan perlu juga diketahui upaya-upaya pemerintah agar dapat mempengaruhi atau mengubah efek yang tidak menguntungkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut.
Menurut W.Arthur Lewis (Perencanaan Pembangunan: Dasar-Dasar Kebijakan Ekonomi,1962) semua pemerintah modern menjunjung tinggi asas persamaan dan berupaya menghapuskan pendapatan yang di satu pihak berlebihan banyaknya sedangkan di lain pihak terlalu sedikit. Untuk menjawab ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : (1) Membagikan kembali pendapatan itu dengan cara pemungutan pajak; (2) Mengubah faktor-faktor pokok yang menentukan distribusi pendapatan sedemikian rupa sehingga distribusi pendapatan sebelum pengambilan pajak telah menjadi sama. Irma Adelman dan Cynthia Taft Morris dalam Lincolin Arsyad (Ekonomi Pembangunan,1988) mengemukakan delapan faktor yang menyebabkan Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan di Negara-negara Berkembang : (1) Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan pendapatanp per kapita semakin menurun; (2) Inflasi, dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang; (3) Ketidakmerataan pembangunan antar daerah; (4) Investasi yang boros dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase pendapatan dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga jumlah pengangguran bertambah; (5) Rendahnya mobilitas sosial; (6) Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan melonjaknya harga barang hasil industri untuk melindungi kepentingan usaha-usaha kapitalis ; (7) Memburuknya nilai tukar bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan internasional dengan negara maju; (8) Hancurnya sentra industri kerajinan rakyat (usaha kecil dan menengah, UKM) dan koperasi. Anne Booth dan R.M.Sundrum dalam H.W. Arndt (Pembangunan dan Pemerataan Pembangunan di Masa Orde Baru,1983), ada enam determinan distribusi pendapatan di Indonesia, yaitu : (1) Pemilikan dan distribusi tanah pertanian; (2) Perolehan lahan; (3) Penggantian upah dan tenaga kerja di pedesaan; (4) Term of trade sektor pertanian; (5) Perolehan pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan; (6) Disparitas perkotaan-pedesaan.
Menurut M. P. Todaro (Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga, 2004), ada empat bidang luas yang terbuka bagi intervensi pemerintah masing-masing berkaitan erat dengan keempat element pokok yang merupakan faktor-faktor penentu utama atau baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan di sebagian negara berkembang. Adapun keempat elemen pokok tersebut adalah : (1) Distribusi fungsional; (2) Distribusi ukuran; (3) Program redistribusi pendapatan; (4) Peningkatan distribusi pendapatan langsung, terutama bagi kelompok-kelompok masyarakat yang berpenghasilan relatif rendah. Pendapat senada disampaikan Adler Manurung (Kompas 18/12/2005), melebarnya kesenjangan kedua kelompok sosial ekonomi diakibatkan oleh belum terarahnya distribusi belanja pemerintah. Ketidakterarahan ini menyebabkan belanja investasi menjadi tersendat. Akibatnya, meski secara nilai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, namun secara realitas kurang berkualitas. Pada gilirannya, hal ini memerlukan optimalisasi belanja pemerintah. Ini akan mampu memberikan suntikan investasi bagi yang lain. Perbaiki itu jalan jalan. Itu akan mendorong rakyat kecil mendapatkan pendapatan. Kalau mereka dapat uang, daya beli mereka akan naik.
4.      Sistem Ekonomi Koperasi
Sebagai suatu sistem ekonomi, koperasi tentu memiliki jiwa/ideologi tertentu yang menjadi karakteristiknya. Untuk memahami karakteristik koperasi Indonesia, marilah kita tengok kembali konsep dasar koperasi Indonesia, khususnya yang menyangkut pengertian dan nilai-nilai dasar, serta prinsip-prinsip koperasi.

Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
Ekonomi rakyat berarti ekonomi yang berorientasi pada keterlibatan rakyat banyak, sehingga aktivitas ekonomi (produksi dan distribusi) harus sebesarbesarnya dilaksanakan oleh rakyat atau melibatkan rakyat banyak. Oleh karena itu, sebagai gerakan ekonomi rakyat, koperasi akan menjadi wadah aktivitas ekonomi rakyat yang ada di sekitarnya. Dalam hal ini koperasi diharapkan dapat membina dan mengembangkan aktivitas ekonomi rakyat, sehingga rakyat dapat meningkatkan kesejahteraannya.

D. Koperasi sebagai Solusi Masalah Perekonomian Indonesia
Sekarang marilah kita coba mengaitkan koperasi sebagai suatu sistem ekonomi dengan permasalahan perekonomian Indonesia seperti yang telah dipaparkan di muka.

1. Koperasi dan Kemiskinan
Makna yang terkandung dalam pengertian koperasi telah menjelaskan bahwa koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat. Dalam hal ini, koperasi akan menjadi wadah kegiatan ekonomi rakyat yang pada umumnya merupakan kelompok menengah ke bawah (miskin). Mereka ini pada umumnya tidak mungkin tertampung pada badan usaha lain seperti Firma, CV, maupun PT. Dengan wadah koperasi, mereka akan dapat mengembangkan kegiatan ekonominya, sehingga dapat meningkatkan pendapatannya. Hal ini tentu dengan catatan: koperasi tersebut harus memiliki kemampuan untuk membina dan mengembangkan kegiatan ekonomi mereka. Oleh karena itu koperasi harus benar-benar dikelola secara profesional agar mampu menjadi wadah kegiatan ekonomi rakyat yang kondusif. Apabila hal ini dapat dilaksanakan pada setiap wilayah kecamatan, niscaya kemiskinan rakyat di seluruh penjuru Indonesia secara bertahap akan dapat diperbaiki kehidupan ekonominya.

2. Koperasi dan Ketidakmerataan Pendapatan
Apabila manajemen koperasi dilaksanakan secara benar dan profesional, maka rakyat yang menjadi anggota koperasi akan meningkat taraf hidupnya sesuai dengan tujuan koperasi. Dalam peningkatan taraf hidup ini berarti terjadi peningkatan kemampuan ekonomi (pendapatan/daya beli) dan peningkatan
kemampuan non ekonomi (misalnya: pendidikan dan sosial). Dengan peningkatan kemampuan pendidikan dan sosial, mereka tentu akan lebih mampu meningkatkan lagi kemampuan ekonominya. Dengan demikian kemampuan ekonomi (pendapatan) mereka akan bertambah semakin besar. Dengan pertambahan kemampuan ekonomi (pendapatan) tersebut diharapkan ketidakmerataan pendapatan antara masyarakat kecil dengan masyarakat menengah ke atas akan semakin diperkecil. Hal ini berarti bahwa ketidakmerataan pendapatan akan diperkecil dengan adanya peningkatan pendapatan rakyat kecil
yang dibina melalui koperasi.

3. Koperasi dan Pengangguran
Apabila koperasi dapat berkembang di setiap wilayah kecamatan di seluruh Indonesia, dan benar-benar mampu membina kegiatan ekonomi rakyat di sekitarnya, tentu koperasi akan dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya. Apalagi jika kegiatan ekonomi (produksi dan distribusi) anggotanya dapat berkembang dengan adanya pembinaan koperasi, niscaya kegiatan ekonomi anggota tersebut juga akan menciptakan lapangan kerja tersendiri. Dengan demikian melalui koperasi yang dikelola secara benar dan profesional diharapkan akan diikuti dengan penciptaan-penciptaan lapangan kerja, dan pada akhirnya akan mengurangi pengangguran.

4. Koperasi dan Inflasi
Sebelumnya perlu kita ketahui terlebih dahulu penyebab terjadinya inflasi. Pada umumnya inflasi terjadi sebagai akibat adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran komoditi. Permintaan komoditi terus meningkat, sedangkan penawarannya tetap atau malah berkurang. Permintaan komiditi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Sementara itu penawaran komoditi dipengaruhi oleh produksi yang diselenggarakan oleh masyarakat. Dalam keadaan inflasi penawaran komoditi harus terus ditingkatkan agar harga komoditi tidak menaik. Untuk meningkatkan penawaran komoditi diperlukan perluasan produksi. Koperasi merupakan salah satu badan usaha yang sangat potensial untuk melakukan perluasan produksi, karena jumlah koperasi yang sangat banyak dan variasi komoditinya pun sangat banyak. Apabila koperasi dikelola secara benar dan profesional, dengan memperhatikan prinsip-prinsip koperasi (keadilan, kemandirian, pendidikan, dan kerja sama), maka tidak mustahil bahwa koperasi akan dapat mempercepat perluasan produksi. Dengan perluasan produksi yang dibantu oleh koperasi ini diharapkan penawaran komoditi akan terus meningkat, dan pada akhirnya akan dapat mengendalikan kenaikan harga komoditi (inflasi).

5. Koperasi dan ketergantungan terhadap luar negeri
Dalam kasus ini, tampaknya koperasi tidak mampu berbuat lebih banyak. Ketergantungan ekonomi terhadap luar negeri cenderung lebih dipengaruhi oleh faktor politik luar negeri pemerintah kita. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dengan luar negeri, khususnya yang menyangkut utang luar negeri cenderung dipengaruhi oleh faktor kekurangmampuan pemerintah dalam mengelola politik luar negeri. Oleh karena itu terhadap permasalahan ini, koperasi cenderung tidak mungkin diikutsertakan untuk memecahkan permasalahan tersebut. Namun demikian terhadap keempat permasalahan perekonomian nasional seperti dipaparkan di atas, koperasi masih bisa diharapkan untuk berperan-serta mengatasinya.

E. Kesimpulan
Sebagai suatu sistem ekonomi, koperasi memiliki karakteristik sosialis dan liberalis, di mana karakter sosialis cenderung lebih dominan. Karakter koperasi ini tampaknya tidak berbeda dengan karakter budaya bangsa Indonesia, karena koperasi pada dasarnya memang merupakan kristalisasi dari budaya sosial-ekonomi bangsa Indonesia. Dengan karakternya tersebut, koperasi memiliki keunggulan untuk menjadi solusi permasalahan perekonomian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, apabila sistem ekonomi koperasi diterapkan secara konsekuen dan berkelanjutan, Insya Allah permasalahan ekonomi yang sampai saat ini masih membelenggu bangsa Indonesia, secara perlahan-lahan akan dapat teratasi.
Demikian sekelumit paparan tulisan yang mencoba mengaitkan koperasi dengan permasalahan ekonomi di Indonesia. Mudah-mudah tulisan ini dapat menjadikan wacana bagi kita semua untuk mengingat dan menengok kembali koperasi sebagai suatu kekuatan ekonomi yang berada di negeri ini. Kekuatan ekonomi yang diharapkan mampu memecahkan permasalahan ekonomi bangsa Indonesia.